Kamis, 01 November 2007



Permainan Politik dan Pemimpin Pemerintahan Yang Dinantikan
Oleh: Hidayah Muhallim

Tidak lama lagi Pilkada Sul-Sel akan dilaksanakan, yaitu tepatnya pada 5 November 2007. Tujuan utama pilkada tersebut apalagi kalau bukan untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk itu, hal yang perlu menjadi perhatian kita adalah bagaimana para kandidat gubernur dan tim suksesnya masing-masing menghadapi pertarungan politik pilkada dan bagaimana sikap publik sebagai calon pemilih terutama terhadap pasangan kandidat gubernur dan situasi politik kekinian.

Secara kasat mata, ketiga pasang kandidat gubernur dan seluruh tim suksesnya telah sibuk melakukan sejumlah persiapan dan kampanye seperti memasang gambar-gambar dan slogan, menebar janji dan pesona, menawarkan program-program unggulan, serta berbagai bentuk propaganda politik yang dianggap jitu sebagai taktik dan strategi permainan. Tetapi apapun bentuk aktifitas dan tindakan tersebut, keseluruhannya memiliki muatan dan motif politik yang bertujuan untuk memenangkan pertarungan dalam pilkada.
Tulisan ini tidak ingin berspekulasi terlalu jauh, apalagi untuk memprediksi siapa bakal memenangkan pilkada tersebut. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita dapat mencermati realitas politik dan menetapkan pilihan yang tepat.

Rasionalitas Politik
Bagi banyak pihak, politik adalah seni untuk memungkinkan tercapainya keinginan atau kepentingan. Ya bisa karena kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, kelompok, partai, kekuasaan, status quo atau kepentingan lainnya. Karena itu, wajar saja jika setiap pasangan kandidat dan tim suksesnya masing-masing berupaya keras dan akan melakukan apa saja untuk meraih kemenangan. Demikian rasionalitas politik yang di pahami secara umum.

Seperti yang dapat kita saksikan, rasionalitas politik pada tataran empiris ditafsirkan secara sederhana oleh para kandidat dan tim sukses paling tidak dalam tiga bentuk tindakan. Pertama, perkenalan diri terhadap publik. Ada plesetan pepatah politik mengatakan, ”tak kenal maka tak pilih”. Dalam konteks itulah kampanye perkenalan diri dimaksudkan untuk menarik minat pemilih bahwa sayalah ”sang kandidat” yang terbaik, ideal dan paling pantas untuk dipilih. Untuk itu, segala latar belakang dan kompetensi sang kandidat akan diungkapkan secara all-out untuk ”menjual diri” meraih popularitas.

Kedua, setiap kandidat dan tim suksesnya menawarkan program unggulan. Demi menjaga keberlangsungan pembangunan atau demi perubahan dan peningkatan kesejahteraan bersama, maka pilihlah ”saya”. Pokoknya, apa yang terbaik bagi masyarakat dan kemajuan daerah Sulawesi Selatan, terbaik bagi kandidat. Demikian klaim dan janji yang sering kita dapati.

Ketiga, pertontonan kekuatan dan pengaruh. Selain ”jual diri dan menjanji”, arena pilkada juga menjadi ajang pertarungan yang dianggap menarik ketika terjadi adu pengaruh dan kekuatan. Instrumennya ya bisa uang, otoritas jabatan, kata-kata, kelompok, partai, klaim massa, dan sebagainya. Makanya tidak mengherankan jika terjadi serang-menyerang antar sesama lawan-tanding. Kelemahan atau keburukan lawan-tanding diungkap. Pantas atau tidak bukan persoalan, yang penting bagaimana memukul lawan sekeras-kerasnya untuk memenangkan pertarungan. Politik bukan sekedar adu kebajikan, tetapi juga adu kegarangan. Etika dan moral politik hanyalah kitab referensi bagi pembelajar politik, bukan bagi pelaku politik. Karena itu, rasionalitas politik akan bekerja menyingkirkan segala penghalang untuk mempermulus jalan menuju kemenangan. Satu-satunya rasionalitas politik bagi pelaku adalah bagaimana memenangkan pertarungan, apapun caranya.

Keterwakilan rasional atau keterwakilan emosional
Selain rasionalitas politik, pencermatan atas kecenderungan arus massa calon pemilih mendapat perhatian serius dari setiap tim sukses pasangan kandidat. Berdasarkan pengamatan, kecenderungan massa calon pemilih secara sederhana dipetakan dalam dua kelompok besar yaitu massa emosional-tradisional dan rasional-objektif. Pasalnya, semua tim sukses telah membaca peta kecenderungan massa, bahkan secara sadar telah memainkan situasi tersebut. Anehnya, publik atau massa pendukung bukan tidak menyadari pola permainan politik yang dikembangkan ini. Bahkan mereka ”enjoy” dengan pola permainan tersebut.

Meskipun terdapat massa pemilih rasional-objektif, tetapi kuantifikasi massa calon pemilih emosional-tradisional masih lebih besar. Mereka akan memilih pemimpin karena merasa terwakili baik secara emosional maupun secara tradisional tanpa mesti menghadirkan pertimbangan rasionalnya. Sementara massa calon pemilih yang rasional cenderung memilih pemimpin karena keterwakilan yang disandarkan pada pertimbangan objektif yang tidak terkekang oleh ikatan tradisional atau sikap emosional belaka.
Meskipun kuantifikasi antar massa calon pemilih emosional-tradisional dan rasional-objektif sulit dilakukan secara pasti, tetapi pemetaan kecenderungan massa pemilih akan sangat membantu setiap pasang kandidat dan tim suksesnya untuk meraih suara mayoritas, jika ingin menang.

Kita yakin bahwa seluruh pasangan kandidat dan tim suksesnya telah dapat membaca kecenderungan massa calon pemilih tradisional yang mendasarkan pilihannya atas pertimbangan emosionalnya. Kita pun tahu bahwa idealnya seorang calon pemilih semestinya mendasarkan pilihannya atas pertimbangan rasional-objektifnya masing-masing. Karena itu kita sangat berharap agar setiap tim sukses tidak hanya sanggup menggunakan rasionalitas politiknya semata, tetapi juga mampu menghadirkan moralitas dalam meraih kemenangan politik. Sangat disayangkan jika mereka hanya dapat memilih jalan pintas dengan membangkitkan emosi-tradisional para pemilihnya belaka.

Memang sebagai penonton, kita sulit menampik adanya permainan politik jalan pintas yang mengeksploitasi emosi massa pemilih tradisional. Tetapi alangkah eloknya jika setiap pasangan kandidat dan tim suksesnya mampu menggunakan rasionalitas dan moralitas politik sekaligus. Kita rindu pemimpin yang mampu memenangkan alam pikiran rasional sekaligus emosi rakyat.

Tanggung jawab pemilih
Menentukan pilihan bukanlah persoalan remeh, karena pemilihlah yang akan menentukan siapa yang pantas memimpin provinsi Sulawesi Selatan lima tahun ke depan. Bukan sebaliknya, pasangan kandidat yang akan mengarahkan kita untuk memilih mereka. Jangan sampai amanah jatuh kepada orang yang kurang tepat hanya karena salah pilih kita. Pilihan kita akan menentukan siapa yang akan memikul tanggung-jawab pembangunan, perubahan, kemajuan, dan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Selatan ke depan.
Sering kali terjadi penyesalan kemudian, kita salah pilih lagi. Untuk itu, sudahilah perilaku bangsa kita yang korup dengan tidak memilih pemimpin pemerintahan yang kurang becus. Kita butuh ketentraman, ketertiban dan pelayanan publik yang standar. Pengangguran butuh lapangan kerja. Kita butuh peningkatan kesejahteraan bersama terutama bagi kaum miskin. Sebagai pemilih independen, kita tidak perlu kemenangan partai tertentu atau kemenangan emosional sesaat.

Pilkada hanyalah momentum untuk memilih pemimpin politik pemerintahan yang kapabel, inspirational, berkarakter, dan memiliki komitmen yang yang tinggi terhadap perubahan, keberlangsungan pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Kita berharap tim pasangan kandidat gubernur yang terpilih adalah mereka yang tidak hanya dapat mempertontonkan kemampuan individunya semata terhadap publik, tetapi pemimpin yang sanggup menunaikan janji, menunjukkan karya dan kinerjanya kepada masyarakat setelah terpilih. Semoga.
* * * * * * *

Tidak ada komentar: