Oleh: Hidayah Muhallim
Tak pelak lagi, globalisasi sungguh telah membawa konsekuensi multidimensional terhadap berbagi aspek kehidupan masyarakat. Tidak hanya konsekuensi ekonomi dan politik, tetapi juga konsekuensi sosial-budaya seperti terjadinya hibridisasi (percampuran) dan eksterminasi (pembasmian) budaya lokal secara bersamaan. Bahkan jejak globalisasi telah memasuki ranah kehidupan pribadi keluarga kita dimana kita seolah tak kuasa lagi membendungnya. Karena itulah—dalam situasi demikian—banyak orang mempreskripsikan (meresepkan) bahwa tindakan paling rasional yang dapat dilakukan adalah adaptasi diri sebisa mungkin.
Kalau demikian, lantas apakah globalisasi dan segala konsekuensinya mesti disesali dan dikecam habis-habisan? Ataukah hal tersebut patut dirayakan sebagai tanda kesyukuran atas sebuah tahapan baru bagi suatu kemajuan peradaban dalam sejarah umat manusia? Kedua pertanyaan tersebut menginspirasi tulisan singkat ini tetapi tidak untuk condong pada salah satunya. Tulisan ini hanya sekedar ingin mempresentasikan suatu fenomena sosial-budaya yang sungguh maujud, dimana struktur bangunan budaya tradisional kita tengah mengalami kerapuhan yang akut, membiaknya hibrida budaya, dan sikap kosmopolitanisme yang mungkin salah kaprah yang memungkinkan percepatan terjadinya eksterminasi nilai-nilai budaya lokal.
Hibriditas Budaya
Salah satu konsekuensi nyata dari proses globalisasi adalah membiaknya hibrida budaya atau sinkretisme budaya. Malahan bagi sejumlah pemikir sosial, hibrida budaya bukan sekedar konsekuensi globalisasi belaka, tetapi justru merupakan “mega proyek” dibalik imaginasi globalisasi. Bahkan globalisasi tidak hanya memfasilitasi pertukaran dan penyebaran nilai-nilai budaya tetapi sekaligus telah mempercepat pembiakan percampuran budaya melalui berbagai cara seperti lewat teknologi informasi, media massa, wisata, mode, atau berbagai instrumen gaya hidup modern lainnya, termasuk melalui jalur pendidikan secara sistimatis.
Jika kita menelusuri jejak sejarah dengan cermat, sebenarnya hibrida budaya bukanlah penomena baru. Hanya saja hibrida budaya dalam konteks globalisasi sebagaimana dimaksudkan oleh Jan Nederveen Pieterse lebih menekankan pada tingkat kecepatan persebaran dan percampuran budaya termasuk skop keluasan dalam kesadaran perubahan struktural utama. Dalam konteks itulah hibridisasi budaya mengalami sebuah fase baru.
Proses pembiakan budaya-hybrid tidak pula sekedar mengikuti pola-pola biasa, tetapi memiliki mekanisme pembauran yang standar seperti yang berlaku secara umum dalam masyarakat modern, terutama masyarakat urban. Mencuatnya beragam tradisi dan simbol-simbol budaya asing jelas bukan tanpa panduan. Semua itu memiliki pemandu, agen, tokoh, atau figurnya sendiri-sendiri sehingga hibrida budaya dapat berlangsung dengan sukses. Kini setiap orang dapat mengadopsi atau meniru budaya apa saja secara taken for granted tanpa mesti sungkan. Pola ini telah menjadi biasa dan kian nyata berlangsung dalam masyarakat kita.
Kosmopolitanisme
Bila globalisasi merupakan kendaraan empuk bagi tumbuh-kembangnya budaya hibrid, maka kosmopolitanisme sikap masyarakat modern pun menemukan habitus sejatinya. Imaginasi globalisasi telah menghantar kita menjadi warga masyarakat global yang sepenuhnya berpijak diatas nilai-nilai universal. Dan dalam globalisasi, kosmopolitanisme sikap adalah sebuah keniscayaan. Dengan kata lain, kosmopolitanisme menjadi sebuah model atau anutan bagi pola sikap—tatalaku dan tatakrama—seseorang secara ideal dimana ia tidak lagi terikat oleh suatu format, sistem atau tata-nilai budaya lama atau budaya tertentu.
Karena itu, pada tarap ini tradisi atau budaya lama tidak lagi dapat berkerja secara otomatis dalam perilaku seorang kosmopolit seperti yang berlaku dalam masyarakat tradisional. Segala tindak-tanduk kaum kosmopolit didorong dan dipengaruhi oleh kalkulasi rasionalitas, termasuk situasi yang melatarinya. Untuk itulah fleksibilitas menjadi sebuah mekanisme baru dan strategi berperilaku yang dianggap tepat, kapan mesti bersikap tegas dan pada situasi bagaimana kita bersikap kompromis.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa sikap kosmopolitanisme menekankan besarnya otonomi kebebasan diri dan jauh dari keterkungkungan primordialisme, tradisionalisme, apalagi fundamentalisme. Disini tata-nilai dan tata-laku seseorang telah tertransformasi dan melintas batas melampaui habitus lamanya. Ikatan tradisi atau nilai budaya lama telah menjadi longgar dan tidak lagi menjerat. Sikap-sikap primordialisme kesukuan atau konservatisme tradisional apalagi fundamentalisme justru dianggap musuh berbahaya bagi kosmopolitanisme global.
Eksternitas Budaya Lokal
Hibriditas dan kosmopolitanisme ternyata bukan tanpa bayaran. Taruhannya adalah terbukanya peluang bagi tersingkirnya nilai-nilai budaya lokal. Tersingkir bukan berarti lenyap sama sekali dan masyarakat tak tahu lagi nilai budaya lokal mereka, tetapi nilai dan norma budaya lokal semakin kabur. Mungkin nilai lama masih tersimpan dalam memori kolektif komunitas atau perseorangan tetapi tidak lagi empiris dalam perilaku keseharian.
Contoh sederhana, budaya malu atau harga diri yang tinggi akan nilai-nilai kebajikan dan kepatutan telah tersingkir dari keseharian masyarakat. Korupsi, kecurangan, penipuan, pelacuran, keseronokan, kesemrawutan, ketakdisiplinan serta berbagai ragam kenistaan lainnya telah sangat dekat dan lekat dalam masyarakat. Sesuatu yang dulu tabu, kini telah menjadi biasa. Sejumlah perilaku yang dianggap rendah kini menjadi trend gaya hidup.
Disamping itu, dalam berbagai situasi, mekanisme budaya lokal tidak lagi menjadi patokan dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial. Jalan pintas telah ditempuh sedemikian rupa. Bahkan kekerasan terkadang menjadi absah dalam persaingan politik atau proyek-proyek bisnis. Disini nilai-nilai budaya lokal yang unggul sungguh terpinggirkan. Karya sejarah komunitas tempo dulu, kini diterjang oleh rasionalitas kepentingan semata.
Imunitas dan Revitalisasi
Globalisasi sebagai jejak peradaban mutakhir ternyata dapat sekaligus menjadi tsunami sejarah atau disaster bagi keberlangsungan budaya dan tatanan sosial lama. Sekalipun hibriditas budaya dan sikap kosmopilitanisme dalam globalisasi ini sulit ditampik lagi, tetapi apakah lantas masyarakat ”pasrah bongkokan” dan membiarkan budaya lokal yang katanya unggul mesti punah. Untuk itu kita perlu awas terhadap aspek negatif globalisasi. Kalau masyarakat—sebagai basis utama tertambatnya budaya lokal—telah mengalami disorientasi nilai, maka tak diragukan lagi bahwa struktur budaya lokal sungguh telah mengalami kerapuhan yang akut. Kalau begitu kita akan menyaksikan nilai-nilai budaya tradisional akan musnah. Tetapi relakah kita?
Untuk itu, kita tidak perlu khawatir dianggap kampungan atau konservatif tradisionalis atau proteksionis lokalan yang tidak progresif dan ketinggalan jaman. Sikap itu penting untuk membantu imunitas tatanan sosial-budaya kita. Revitalisasi budaya juga dapat dilakukan dengan mengaplikasikannya dalam perilaku, keluarga, kantor, komunitas dan masyarakat kita. Pengajaran atau sosialisasi nilai budaya terhadap generasi atau setiap level komunitas akan mempermudah proses internalisasi atau strategi peng-inheren-an nilai budaya ke dalam tatalaku masyarakat. Penginjeksian kembali nilai-nilai lama seperti ini ke dalam kehidupan komunitas tidak serta merta akan memprimordialkan mereka. Tetapi inilah salah satu cara untuk mengimunisasi dan melanggengkan kembali nilai budaya lokal dan tatanan sosial masyarakat. Karena kalau tidak, kita merelakan karya sejarah komunitas lokal akan lenyap dari kehidupan masyarakat. Sehingga yang tersisa nantinya hanyalah identitas turunan sebagai Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Jawa, Minang, Batak, dan sebagainya tetapi kering dari hakikat nilai tradisionalnya. Sebuah identitas etnis yang tidak lagi mengakar dalam nilai kulturalnya. Karena mungkin kita memang telah menjelma menjadi masyarakat hibrit kosmopolit yang salah kaprah. Wallahu-’alam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar