Kamis, 01 November 2007

Menelaah Implementasi Corporate Social Responsibility

Oleh: Hidayah Muhallim

Sejak era reformasi, tuntutan terhadap korporasi atau lembaga bisnis untuk turut terlibat aktif dalam pembangunan masyarakat mulai berhembus dengan sangat kencang. Korporasi dituntut untuk tidak lagi semata-mata berpijak pada basis tradisionalnya yang hanya berupaya mengejar keuntungan sebesar-besarnya bagi para shareholdernya, tetapi juga mesti mempertimbangkan kepentingan para stakeholdernya. Disamping itu, korporasi dituntut untuk memikirkan dan memberikan solusi terhadap berbagai masalah sosial-kemasyarakatan dan lingkungan hidup yang mungkin—baik langsung maupun tidak langsung—diakibatkannya, serta ikut mempromosikan peningkatan kualitas sumber daya komunitas dan kemandirian lokal. Ringkasnya, korporasi semestinya dapat memberikan kontribusi konkrit paling tidak terhadap local community development dimana korporasi tersebut beroperasi.

Sebenarnya, kalau kita menelusuri lebih jauh debat tentang bagaimana social performance korporasi, maka hal tersebut telah mengemuka sekitar tiga atau empat dekade yang lalu di negara-negara Amerika Utara dan Eropa Barat. Perdebatan tentang apakah korporasi hanya semata-mata berusaha untuk memenuhi tujuan-tujuan tradisionalnya yaitu mencari profit sebesar-besarnya bagi para shareholdernya, atau korporasi juga semestinya memiliki tanggung jawab sosial sekaligus terhadap para stakehordernya. Namun perkembangan selanjutnya, nampaknya korporasi saat ini diharapkan dan didorong untuk memiliki social concern yang melampaui basis tradisionalnya tersebut. Dalam konteks ini ditegaskan bahwa paradigma lama ekonomi mesti segera ditinggalkan dan tidak dapat lagi dipertahankan. Karena itu, peran baru korporasi dipandang lebih progressive dan up to date dengan munculnya doktrin CSR (corporate social responsibility) tersebut.

Lantas mengapa CSR tersebut baru mengemuka di Indonesia pasca tumbangnya Presiden Suharto? Apakah konsep tersebut memang tidak dikenal luas oleh para akademisi, pemikir, atau aktifis gerakan sosial di negeri ini sebelumnya?

Menurut hemat penulis, tidaklah demikian adanya. Hanya saja fakta empirik yang dapat kita temukan bahwa selama rejim Orde Baru berkuasa, berbagai opini atau pemikiran baru yang muncul dalam masyarakat tidak selalu mendapat ruang untuk tumbuh dan berkembang, termasuk adanya desakan atau tuntutan masyarakat terhadap peran dan tanggung jawab sosial korporasi. Rejim Orde Baru begitu powerful menguasai dan mengatur berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ironisnya, terhadap korporasi-korporasi asing, pemerintah Orde Baru berlaku sangat lembek dan kurang bernyali. Bahkan pemerintah telah menyediakan layanan sangat istimewa untuk mengamankan dan memuluskan segala agenda atau proyek korporasi asing (TNCs, Trans-National Corporations) yang bukan hanya dipandang kurang peduli terhadap persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan dan lingkungan hidup selama ini, tetapi juga begitu abai, kurang bertanggungjawab, dan bahkan cenderung melampaui batas.

Korporasi-korporasi asing tersebut barulah mulai sedikit merubah pola tindak mereka setelah kekuatan Orde Baru kocar-kacir. Ditambah lagi dengan munculnya desakan yang begitu kuat dan intensif dari berbagai elemen-elemen kekuatan masyarakat madani (civil society) terutama sejak era reformasi. Jadi bukanlah betul-betul sepenuhnya murni dan tiba-tiba muncul dari apa yang disebut dengan ”keinginan baik” korporasi sebagai bukti komitmen moral dan sosial seperti yang mereka klaim selama ini.

Perubahan Sikap Korporasi
Dalam konteks global, perubahan sikap korporasi didorong oleh munculnya berbagai kritik dari para pemikir, aktifis dan praktisi sosial terhadap praktek bisnis yang dianggap begitu menjemukan dan telah menimbulkan berbagai persoalan. Praktek bisnis model lama dianggap kurang relevan lagi dengan realitas sosial kekinian, karena itu segera harus ditinggalkan. Untuk itulah, sebuah rasionalitas baru ekonomi atau new strategic management sangat diperlukan adanya demi kelangsungan eksistensi korporasi dalam trend globalisasi sekarang ini. Dengan kata lain, kiat-kiat korporasi mesti terus-menerus dirasionalisasikan dan diperbarui setiap saat jika ingin tetap eksis dan tumbuh berkembang.

Sementara dalam konteks ke-Indonesia-an, temuan lapangan atau data empirik yang diperoleh penulis memperlihatkan bahwa secara institusional, perubahan social policies dan strategic management korporasi secara umum ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal ketimbang faktor-faktor internal korporasi yang secara eksplisit dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama, adanya perubahan struktur politik di Indonesia sejak era reformasi yang lebih mengarah pada otonomi daerah sebagaimana ditegaskan oleh UU Nomor 22/1999 tentang pelaksanaan otonomi daerah, kemudian dijabarkan dalam peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000.

Kedua, adanya gerakan-gerakan sosial baik ditingkat nasional maupun ditingkat regional yang turut pula memicu komunitas lokal untuk melakukan tekanan-tekanan langsung terhadap korporasi, mempertanyakan kembali keberadaannya dan sekaligus menuntut peran-peran sosialnya, seperti yang dapat kita saksikan sepanjang dekade terakhir di beberapa lokasi pertambangan atau industri besar di Indonesia.

Ketiga, adanya perubahan strategic management yang dilakukan oleh korporasi atau faktor-faktor internal lainnya, termasuk kiat-kiat managemen terkini untuk kembali memperhitungkan kepentingan-kepentingan para stakeholdernya, atau lebih sederhananya disebut sebagai internal drive dari sebuah korporasi.

Dari ketiga faktor tersebut diatas, sangat jelas terlihat bahwa faktor-faktor eksternal korporasi seperti pada point pertama dan kedua ternyata jauh lebih berpengaruh mendorong dan memaksa perubahan sikap korporasi dibandingkan faktor internal atau internal drive seperti pada point ketiga. Meskipun terdapat klaim dari berbagai korporasi bahwa perubahan sikap mereka, yang mulai peduli terhadap berbagai persoalan sosial kemasyarakatan, merupakan wujud moral commitment dan social responsibility korporasi terhadap local community development sekaligus bukti dukungan terhadap sustainable development di Indonesia sejak awal. Namun klaim tersebut dapat direspon secara sederhana, mengapa konsep dan praktek CSR tersebut tidak diterapkan jauh-jauh hari sebelum kekuatan Orde Baru berantakan, atau sebelum gerakan reformasi datang menggebrak. Sebagaimana yang terlihat bahwa pasca tumbangnya rejim Orde Baru, tuntutan dan desakan masyarakat semakin kuat dan intensif mendobrak membuat korporasi ketar-ketir dan segera berbenah mencari simpati dan legitimasi baru untuk dapat tetap bertahan.

Menakar CSR
Sesungguhnya, tujuan klasik korporasi adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan atau biaya sekecil-kecilnya. Kalaupun CSR kemudian muncul sebagai sebuah alternative, para neo-liberalist tetap menempatkannya hanya sebagai sebuah strategic management terkini dan mempreskripsikan CSR sebagai doktrin yang mesti diadopsi dan diterapkan oleh korporasi jika ingin mendapatkan kembali legitimasinya yang sangat merosot beberapa dekade terakhir, sekaligus untuk dapat menghindari dan menangkis kritikan serta gempuran gerakan massa yang terus muncul di mana-mana tanpa henti menantang korporasi dunia. Karena itu pula sejumlah sosiolog atau para pemikir sosial tetap berkeyakinan bahwa doktrin CSR tersebut hanya merupakan suatu kamuflase atau trik baru kaum neo-liberalist dalam trend globalisasi agar dapat terus melanggengkan sistem kapitalisme dunia. Toh kalau paradigma CSR tersebut kelihatan sedikit lebih baik, paling banter kita baru dapat menimbangnya tak lebih dari sekedar solusi tawar sementara. Tidak sebagai sebuah solusi final yang dapat menjawab berbagai persoalan sosial-ekonomi yang timbul belakangan ini. Konsep CSR bukan pula merupakan bentuk final dari praktek win-win solution seperti yang dicita-citakan.

Namun demikian, implementasi CSR dapat diposisikan paling tidak sebagai suatu tahapan awal bagi dunia bisnis untuk menjadi socially concern yang peduli terhadap berbagai persoalan sosial kemasyarakatan dan lingkungan hidup sekaligus sebagai bentuk kontribusi konkrit sementara terhadap pembangunan berkelanjutan, sambil kita terus berupaya menemukan sebuah model yang lebih baik, lebih progresive, dan lebih acceptable kedepan.

Tidak ada komentar: