Meregulasikan CSR, apa landasannya?
Oleh : Hidayah Muhallim
Pada awalnya, perusahaan (korporasi) diciptakan untuk melayani dan memenuhi kebutuhan manusia. Dari pelayanan tersebut kemudian korporasi mendapatkan reward dalam bentuk laba atau profit. Tetapi sekarang ini, sebagai sebuah produk hukum, korporasi dipersyaratkan untuk hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik atau pemegang saham sebagai tujuan utamanya.
Sekilas tidak nampak adanya pertentangan mencolok pada kedua perspektif tersebut. Tetapi sebenarnya, kedua pandangan tersebut mengandung kontradiksi dan bertumpu diatas landasan nilai yang berbeda yang menjadi pijakannya. Perspektif pertama menekankan bahwa keuntungan korporasi merupakan konsekuensi dari tindakan pelayanan atau pemenuhan kebutuhan terhadap konsumen, pengguna jasa, dan atau kliennya. Sementara pandangan kedua menekankan bahwa keuntungan merupakan tujuan utama yang absolut. Pelayanan adalah instrumen belaka untuk mendapatkan keuntungan maksimal.
Perbedaan kedua asumsi dasar tersebut mendasari polemik tentang konsep dan implementasi CSR (Corporate Social Responsibility) selama ini. Apalagi UU PT (Undang-Undang Perseroan Terbatas) yang disahkan oleh DPR pada bulan Juli lalu memuat kewajiban CSR terutama bagi korporasi yang bergerak di bidang sumber daya alam yang mengundang pro-kontra hingga saat ini. Sebagian pihak menyambut baik regulasi CSR karena akan mengikat korporasi untuk mengimplementasikan CSR secara nyata. Sementara pihak lain menentang regulasi CSR terutama pelaku dunia usaha. Pasalnya, regulasi CSR dianggap mendistorsi prinsip-prinsip ekonomi dan spirit neoliberalisme yang telah dianut oleh berbagai bangsa, termasuk pemerintah negara kita.
Pro-CSR
Sumbangsih dan maanfaat dari aktifitas korporasi tidak perlu lagi dipertanyakan karena memang demikian harapan awal mula penciptaannya. Tetapi pihak pro-CSR lebih menekankan pada fakta lapangan yang memperlihatkan adanya berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh korporasi. Tidak jarang malapetaka sosial dan lingkungan yang terjadi selama ini akibat dari aktifitas korporasi yang menyimpang dan tak terkontrol dengan baik seperti kasus lumpur Lapindo. Dimana-mana kita dapat menemukan tingginya tingkat polusi; udara, suara, air sungai dan laut yang sedemikian parah. Hutan semakin menyusut, banjir dan kekeringan melanda setiap tahunnya.
Disamping itu, kerakusan korporasi juga berdampak terhadap tingginya tingkat kemiskinan dan kejahatan. Nilai-nilai budaya lama tergantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan masyarakat kita. Struktur sosial mengalami kerapuhan. Konsumerisme berlebihan dan fatalisme sosial menjadi biasa. Pola dan gaya hidup masyarakat telah didikte dan didesain oleh korporasi terutama dalam era globalisasi yang tak terelakkan ini.
Selain pengaruh negatif tersebut, pihak pro-CSR mengharapkan korporasi untuk dapat ikut serta dalam proses pembangunan berkelanjutan. Korporasi bukanlah entitas terpisah dari sebuah masyarakat dan lingkungan dimana dia berada, tetapi korporasi merupakan bagian integral yang hanya dapat eksis jika memiliki legitimasi sosial yang kuat. Untuk memiliki legitimasi yang kuat, sebuah korporasi mesti memiliki banyak manfaat dan peduli terhadap lingkungan sosialnya atau menjadi good corporate citizenship.
Kontra CSR dan politik ekonomi
Selama ini, terjadinya penyimpangan atau akibat buruk dari sejumlah korporasi di berbagai belahan bumi ternyata menimbulkan reaksi keras dari berbagai pemikir sosial-ekonomi dan para aktifis. Kritik, tekanan dan demonstrasi kerap menghiasi dinamika global terutama sejak tahun 1970-an. Para ekonom, ahli manajemen, dan pelaku bisnis yang merasa kegerahan dengan serangan tersebut kemudian segera menata diri dan melakukan perlawanan, atau mengadopsi CSR sebagai rasionalisasi dari new strategic management mereka.
Salah seorang kampiun ekonom yang terus mengumandangkan penentangannya terhadap CSR hingga akhir hidupnya adalah Milton Friedman, seorang pemenang Nobel Ekonomi. Friedman menegaskan bahwa CSR mendistorsi prinsip-prinsip ekonomi dan merupakan penyimpangan dari hakekat penciptaan korporasi. Menurutnya, satu-satunya tujuan korporasi adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik atau pemegang saham, bukan untuk tujuan-tujuan sosial lainnya. Yang terpenting adalah bagaimana korporasi dapat berjalan dengan baik menurut aturan main yang ada. Karena itu, jangan pernah berharap adanya keikhlasan muncul dari sebuah korporasi untuk menerapkan CSR secara nyata dan sungguh-sungguh.
Toh kalau CSR mesti diterima, itu hanya dalam keadaan dan batas-batas tertentu saja. Memajang perempuan cantik di depan mobil yang hendak dijual, bukan berarti menjual perempuan tersebut. Tetapi tujuan utamanya adalah bagaimana menjual mobil tersebut. Demikian kiasan sang maestro ekonomi tersebut.
Selain itu, berbagai hasil riset menemukan bahwa memang CSR didoktrinkan oleh kaum neoliberalist untuk melanggengkan sifat kerakusan korporasi dan sistem kapitalisme dunia. CSR diadopsi hanya sekedar trik managemen terkini atau siasat ekonomi baru. Karena itu, korporasi tidak pernah menerapkan prinsip-prinsip CSR sebenar-benarnya seperti yang dikampanyekan selama ini. Paling banter, CSR merupakan instrumen untuk meraih legitimasi sosial baru korporasi yang mengalami koreksi dan menempatkan CSR sebagai pilantropi korporasi yang merupakan kemasan dari politik ekonomi ketimbang implementasi komitmen moral dunia usaha seperti yang digembar-gemborkan.
Posisi baru CSR
Pro-kontra terhadap paradigma CSR jelas merefleksikan adanya kepentingan dan nilai-nilai yang berbeda yang dipegangi oleh pihak-pihak terkait. Tetapi berdasarkan uraian diatas, peregulasian CSR bukan tanpa alasan. Posisi CSR mesti segera dipertegas karena sudah sekian lama CSR bertumpu diatas landasan yang rapuh. Sementara dampak buruk dari aktifitas korporasi terus berlangsung. Komitmen dan janji-janji moral korporasi yang ditunggu-tunggu untuk menerapkan prinsip-prinsip CSR secara bersungguh-sungguh tidak dapat dipegangi sepenuhnya. Karena itu, pihak pro-CSR beranggapan bahwa sudah cukup alasan untuk meregulasikan CSR secara permanen.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kewajiban CSR akan menjadi beban baru bagi korporasi, tetapi membiarkan CSR terombang-ambing diantara politik ekonomi dan klaim moralitas korporasi seperti selama ini cukup membingungkan. Disamping itu, menunggu keikhlasan dan niat baik dari koroporasi untuk melaksanakan CSR secara suka rela tanpa motif politik ekonomi, terasa sulit untuk dibayangkan. Korporasi mesti lebih ditekan dan diikat untuk melaksanakan CSR, demikian para penganut pro-CSR berargumen. Dan salah satu langkah dan pilihan paling rasional bagi mereka adalah meregulasikan CSR seperti yang telah dilakukan oleh DPR kita. Meskipun reaksi pro-kontra terus menyertai, keputusan telah diambil.
Suka atau tidak suka, regulasi CSR telah permanen. Pro-kontra pun biarlah tetap berlangsung untuk memperkaya wacana, tetapi tidak perlu destruktif atau set-back. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana menafsirkan dan mengempirikkan kewajiban CSR tersebut dalam formulasi program secara tepat dan bijaksana. Bukti dan implementasi program akan terasa jauh lebih bermanfaat, ketimbang janji dan klaim moralitas belaka.
Kamis, 01 November 2007
Hibriditas, Kosmopolitanisme dan Pentingnya Revitalisasi Budaya Lokal
Oleh: Hidayah Muhallim
Tak pelak lagi, globalisasi sungguh telah membawa konsekuensi multidimensional terhadap berbagi aspek kehidupan masyarakat. Tidak hanya konsekuensi ekonomi dan politik, tetapi juga konsekuensi sosial-budaya seperti terjadinya hibridisasi (percampuran) dan eksterminasi (pembasmian) budaya lokal secara bersamaan. Bahkan jejak globalisasi telah memasuki ranah kehidupan pribadi keluarga kita dimana kita seolah tak kuasa lagi membendungnya. Karena itulah—dalam situasi demikian—banyak orang mempreskripsikan (meresepkan) bahwa tindakan paling rasional yang dapat dilakukan adalah adaptasi diri sebisa mungkin.
Kalau demikian, lantas apakah globalisasi dan segala konsekuensinya mesti disesali dan dikecam habis-habisan? Ataukah hal tersebut patut dirayakan sebagai tanda kesyukuran atas sebuah tahapan baru bagi suatu kemajuan peradaban dalam sejarah umat manusia? Kedua pertanyaan tersebut menginspirasi tulisan singkat ini tetapi tidak untuk condong pada salah satunya. Tulisan ini hanya sekedar ingin mempresentasikan suatu fenomena sosial-budaya yang sungguh maujud, dimana struktur bangunan budaya tradisional kita tengah mengalami kerapuhan yang akut, membiaknya hibrida budaya, dan sikap kosmopolitanisme yang mungkin salah kaprah yang memungkinkan percepatan terjadinya eksterminasi nilai-nilai budaya lokal.
Hibriditas Budaya
Salah satu konsekuensi nyata dari proses globalisasi adalah membiaknya hibrida budaya atau sinkretisme budaya. Malahan bagi sejumlah pemikir sosial, hibrida budaya bukan sekedar konsekuensi globalisasi belaka, tetapi justru merupakan “mega proyek” dibalik imaginasi globalisasi. Bahkan globalisasi tidak hanya memfasilitasi pertukaran dan penyebaran nilai-nilai budaya tetapi sekaligus telah mempercepat pembiakan percampuran budaya melalui berbagai cara seperti lewat teknologi informasi, media massa, wisata, mode, atau berbagai instrumen gaya hidup modern lainnya, termasuk melalui jalur pendidikan secara sistimatis.
Jika kita menelusuri jejak sejarah dengan cermat, sebenarnya hibrida budaya bukanlah penomena baru. Hanya saja hibrida budaya dalam konteks globalisasi sebagaimana dimaksudkan oleh Jan Nederveen Pieterse lebih menekankan pada tingkat kecepatan persebaran dan percampuran budaya termasuk skop keluasan dalam kesadaran perubahan struktural utama. Dalam konteks itulah hibridisasi budaya mengalami sebuah fase baru.
Proses pembiakan budaya-hybrid tidak pula sekedar mengikuti pola-pola biasa, tetapi memiliki mekanisme pembauran yang standar seperti yang berlaku secara umum dalam masyarakat modern, terutama masyarakat urban. Mencuatnya beragam tradisi dan simbol-simbol budaya asing jelas bukan tanpa panduan. Semua itu memiliki pemandu, agen, tokoh, atau figurnya sendiri-sendiri sehingga hibrida budaya dapat berlangsung dengan sukses. Kini setiap orang dapat mengadopsi atau meniru budaya apa saja secara taken for granted tanpa mesti sungkan. Pola ini telah menjadi biasa dan kian nyata berlangsung dalam masyarakat kita.
Kosmopolitanisme
Bila globalisasi merupakan kendaraan empuk bagi tumbuh-kembangnya budaya hibrid, maka kosmopolitanisme sikap masyarakat modern pun menemukan habitus sejatinya. Imaginasi globalisasi telah menghantar kita menjadi warga masyarakat global yang sepenuhnya berpijak diatas nilai-nilai universal. Dan dalam globalisasi, kosmopolitanisme sikap adalah sebuah keniscayaan. Dengan kata lain, kosmopolitanisme menjadi sebuah model atau anutan bagi pola sikap—tatalaku dan tatakrama—seseorang secara ideal dimana ia tidak lagi terikat oleh suatu format, sistem atau tata-nilai budaya lama atau budaya tertentu.
Karena itu, pada tarap ini tradisi atau budaya lama tidak lagi dapat berkerja secara otomatis dalam perilaku seorang kosmopolit seperti yang berlaku dalam masyarakat tradisional. Segala tindak-tanduk kaum kosmopolit didorong dan dipengaruhi oleh kalkulasi rasionalitas, termasuk situasi yang melatarinya. Untuk itulah fleksibilitas menjadi sebuah mekanisme baru dan strategi berperilaku yang dianggap tepat, kapan mesti bersikap tegas dan pada situasi bagaimana kita bersikap kompromis.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa sikap kosmopolitanisme menekankan besarnya otonomi kebebasan diri dan jauh dari keterkungkungan primordialisme, tradisionalisme, apalagi fundamentalisme. Disini tata-nilai dan tata-laku seseorang telah tertransformasi dan melintas batas melampaui habitus lamanya. Ikatan tradisi atau nilai budaya lama telah menjadi longgar dan tidak lagi menjerat. Sikap-sikap primordialisme kesukuan atau konservatisme tradisional apalagi fundamentalisme justru dianggap musuh berbahaya bagi kosmopolitanisme global.
Eksternitas Budaya Lokal
Hibriditas dan kosmopolitanisme ternyata bukan tanpa bayaran. Taruhannya adalah terbukanya peluang bagi tersingkirnya nilai-nilai budaya lokal. Tersingkir bukan berarti lenyap sama sekali dan masyarakat tak tahu lagi nilai budaya lokal mereka, tetapi nilai dan norma budaya lokal semakin kabur. Mungkin nilai lama masih tersimpan dalam memori kolektif komunitas atau perseorangan tetapi tidak lagi empiris dalam perilaku keseharian.
Contoh sederhana, budaya malu atau harga diri yang tinggi akan nilai-nilai kebajikan dan kepatutan telah tersingkir dari keseharian masyarakat. Korupsi, kecurangan, penipuan, pelacuran, keseronokan, kesemrawutan, ketakdisiplinan serta berbagai ragam kenistaan lainnya telah sangat dekat dan lekat dalam masyarakat. Sesuatu yang dulu tabu, kini telah menjadi biasa. Sejumlah perilaku yang dianggap rendah kini menjadi trend gaya hidup.
Disamping itu, dalam berbagai situasi, mekanisme budaya lokal tidak lagi menjadi patokan dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial. Jalan pintas telah ditempuh sedemikian rupa. Bahkan kekerasan terkadang menjadi absah dalam persaingan politik atau proyek-proyek bisnis. Disini nilai-nilai budaya lokal yang unggul sungguh terpinggirkan. Karya sejarah komunitas tempo dulu, kini diterjang oleh rasionalitas kepentingan semata.
Imunitas dan Revitalisasi
Globalisasi sebagai jejak peradaban mutakhir ternyata dapat sekaligus menjadi tsunami sejarah atau disaster bagi keberlangsungan budaya dan tatanan sosial lama. Sekalipun hibriditas budaya dan sikap kosmopilitanisme dalam globalisasi ini sulit ditampik lagi, tetapi apakah lantas masyarakat ”pasrah bongkokan” dan membiarkan budaya lokal yang katanya unggul mesti punah. Untuk itu kita perlu awas terhadap aspek negatif globalisasi. Kalau masyarakat—sebagai basis utama tertambatnya budaya lokal—telah mengalami disorientasi nilai, maka tak diragukan lagi bahwa struktur budaya lokal sungguh telah mengalami kerapuhan yang akut. Kalau begitu kita akan menyaksikan nilai-nilai budaya tradisional akan musnah. Tetapi relakah kita?
Untuk itu, kita tidak perlu khawatir dianggap kampungan atau konservatif tradisionalis atau proteksionis lokalan yang tidak progresif dan ketinggalan jaman. Sikap itu penting untuk membantu imunitas tatanan sosial-budaya kita. Revitalisasi budaya juga dapat dilakukan dengan mengaplikasikannya dalam perilaku, keluarga, kantor, komunitas dan masyarakat kita. Pengajaran atau sosialisasi nilai budaya terhadap generasi atau setiap level komunitas akan mempermudah proses internalisasi atau strategi peng-inheren-an nilai budaya ke dalam tatalaku masyarakat. Penginjeksian kembali nilai-nilai lama seperti ini ke dalam kehidupan komunitas tidak serta merta akan memprimordialkan mereka. Tetapi inilah salah satu cara untuk mengimunisasi dan melanggengkan kembali nilai budaya lokal dan tatanan sosial masyarakat. Karena kalau tidak, kita merelakan karya sejarah komunitas lokal akan lenyap dari kehidupan masyarakat. Sehingga yang tersisa nantinya hanyalah identitas turunan sebagai Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Jawa, Minang, Batak, dan sebagainya tetapi kering dari hakikat nilai tradisionalnya. Sebuah identitas etnis yang tidak lagi mengakar dalam nilai kulturalnya. Karena mungkin kita memang telah menjelma menjadi masyarakat hibrit kosmopolit yang salah kaprah. Wallahu-’alam.
Tak pelak lagi, globalisasi sungguh telah membawa konsekuensi multidimensional terhadap berbagi aspek kehidupan masyarakat. Tidak hanya konsekuensi ekonomi dan politik, tetapi juga konsekuensi sosial-budaya seperti terjadinya hibridisasi (percampuran) dan eksterminasi (pembasmian) budaya lokal secara bersamaan. Bahkan jejak globalisasi telah memasuki ranah kehidupan pribadi keluarga kita dimana kita seolah tak kuasa lagi membendungnya. Karena itulah—dalam situasi demikian—banyak orang mempreskripsikan (meresepkan) bahwa tindakan paling rasional yang dapat dilakukan adalah adaptasi diri sebisa mungkin.
Kalau demikian, lantas apakah globalisasi dan segala konsekuensinya mesti disesali dan dikecam habis-habisan? Ataukah hal tersebut patut dirayakan sebagai tanda kesyukuran atas sebuah tahapan baru bagi suatu kemajuan peradaban dalam sejarah umat manusia? Kedua pertanyaan tersebut menginspirasi tulisan singkat ini tetapi tidak untuk condong pada salah satunya. Tulisan ini hanya sekedar ingin mempresentasikan suatu fenomena sosial-budaya yang sungguh maujud, dimana struktur bangunan budaya tradisional kita tengah mengalami kerapuhan yang akut, membiaknya hibrida budaya, dan sikap kosmopolitanisme yang mungkin salah kaprah yang memungkinkan percepatan terjadinya eksterminasi nilai-nilai budaya lokal.
Hibriditas Budaya
Salah satu konsekuensi nyata dari proses globalisasi adalah membiaknya hibrida budaya atau sinkretisme budaya. Malahan bagi sejumlah pemikir sosial, hibrida budaya bukan sekedar konsekuensi globalisasi belaka, tetapi justru merupakan “mega proyek” dibalik imaginasi globalisasi. Bahkan globalisasi tidak hanya memfasilitasi pertukaran dan penyebaran nilai-nilai budaya tetapi sekaligus telah mempercepat pembiakan percampuran budaya melalui berbagai cara seperti lewat teknologi informasi, media massa, wisata, mode, atau berbagai instrumen gaya hidup modern lainnya, termasuk melalui jalur pendidikan secara sistimatis.
Jika kita menelusuri jejak sejarah dengan cermat, sebenarnya hibrida budaya bukanlah penomena baru. Hanya saja hibrida budaya dalam konteks globalisasi sebagaimana dimaksudkan oleh Jan Nederveen Pieterse lebih menekankan pada tingkat kecepatan persebaran dan percampuran budaya termasuk skop keluasan dalam kesadaran perubahan struktural utama. Dalam konteks itulah hibridisasi budaya mengalami sebuah fase baru.
Proses pembiakan budaya-hybrid tidak pula sekedar mengikuti pola-pola biasa, tetapi memiliki mekanisme pembauran yang standar seperti yang berlaku secara umum dalam masyarakat modern, terutama masyarakat urban. Mencuatnya beragam tradisi dan simbol-simbol budaya asing jelas bukan tanpa panduan. Semua itu memiliki pemandu, agen, tokoh, atau figurnya sendiri-sendiri sehingga hibrida budaya dapat berlangsung dengan sukses. Kini setiap orang dapat mengadopsi atau meniru budaya apa saja secara taken for granted tanpa mesti sungkan. Pola ini telah menjadi biasa dan kian nyata berlangsung dalam masyarakat kita.
Kosmopolitanisme
Bila globalisasi merupakan kendaraan empuk bagi tumbuh-kembangnya budaya hibrid, maka kosmopolitanisme sikap masyarakat modern pun menemukan habitus sejatinya. Imaginasi globalisasi telah menghantar kita menjadi warga masyarakat global yang sepenuhnya berpijak diatas nilai-nilai universal. Dan dalam globalisasi, kosmopolitanisme sikap adalah sebuah keniscayaan. Dengan kata lain, kosmopolitanisme menjadi sebuah model atau anutan bagi pola sikap—tatalaku dan tatakrama—seseorang secara ideal dimana ia tidak lagi terikat oleh suatu format, sistem atau tata-nilai budaya lama atau budaya tertentu.
Karena itu, pada tarap ini tradisi atau budaya lama tidak lagi dapat berkerja secara otomatis dalam perilaku seorang kosmopolit seperti yang berlaku dalam masyarakat tradisional. Segala tindak-tanduk kaum kosmopolit didorong dan dipengaruhi oleh kalkulasi rasionalitas, termasuk situasi yang melatarinya. Untuk itulah fleksibilitas menjadi sebuah mekanisme baru dan strategi berperilaku yang dianggap tepat, kapan mesti bersikap tegas dan pada situasi bagaimana kita bersikap kompromis.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa sikap kosmopolitanisme menekankan besarnya otonomi kebebasan diri dan jauh dari keterkungkungan primordialisme, tradisionalisme, apalagi fundamentalisme. Disini tata-nilai dan tata-laku seseorang telah tertransformasi dan melintas batas melampaui habitus lamanya. Ikatan tradisi atau nilai budaya lama telah menjadi longgar dan tidak lagi menjerat. Sikap-sikap primordialisme kesukuan atau konservatisme tradisional apalagi fundamentalisme justru dianggap musuh berbahaya bagi kosmopolitanisme global.
Eksternitas Budaya Lokal
Hibriditas dan kosmopolitanisme ternyata bukan tanpa bayaran. Taruhannya adalah terbukanya peluang bagi tersingkirnya nilai-nilai budaya lokal. Tersingkir bukan berarti lenyap sama sekali dan masyarakat tak tahu lagi nilai budaya lokal mereka, tetapi nilai dan norma budaya lokal semakin kabur. Mungkin nilai lama masih tersimpan dalam memori kolektif komunitas atau perseorangan tetapi tidak lagi empiris dalam perilaku keseharian.
Contoh sederhana, budaya malu atau harga diri yang tinggi akan nilai-nilai kebajikan dan kepatutan telah tersingkir dari keseharian masyarakat. Korupsi, kecurangan, penipuan, pelacuran, keseronokan, kesemrawutan, ketakdisiplinan serta berbagai ragam kenistaan lainnya telah sangat dekat dan lekat dalam masyarakat. Sesuatu yang dulu tabu, kini telah menjadi biasa. Sejumlah perilaku yang dianggap rendah kini menjadi trend gaya hidup.
Disamping itu, dalam berbagai situasi, mekanisme budaya lokal tidak lagi menjadi patokan dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial. Jalan pintas telah ditempuh sedemikian rupa. Bahkan kekerasan terkadang menjadi absah dalam persaingan politik atau proyek-proyek bisnis. Disini nilai-nilai budaya lokal yang unggul sungguh terpinggirkan. Karya sejarah komunitas tempo dulu, kini diterjang oleh rasionalitas kepentingan semata.
Imunitas dan Revitalisasi
Globalisasi sebagai jejak peradaban mutakhir ternyata dapat sekaligus menjadi tsunami sejarah atau disaster bagi keberlangsungan budaya dan tatanan sosial lama. Sekalipun hibriditas budaya dan sikap kosmopilitanisme dalam globalisasi ini sulit ditampik lagi, tetapi apakah lantas masyarakat ”pasrah bongkokan” dan membiarkan budaya lokal yang katanya unggul mesti punah. Untuk itu kita perlu awas terhadap aspek negatif globalisasi. Kalau masyarakat—sebagai basis utama tertambatnya budaya lokal—telah mengalami disorientasi nilai, maka tak diragukan lagi bahwa struktur budaya lokal sungguh telah mengalami kerapuhan yang akut. Kalau begitu kita akan menyaksikan nilai-nilai budaya tradisional akan musnah. Tetapi relakah kita?
Untuk itu, kita tidak perlu khawatir dianggap kampungan atau konservatif tradisionalis atau proteksionis lokalan yang tidak progresif dan ketinggalan jaman. Sikap itu penting untuk membantu imunitas tatanan sosial-budaya kita. Revitalisasi budaya juga dapat dilakukan dengan mengaplikasikannya dalam perilaku, keluarga, kantor, komunitas dan masyarakat kita. Pengajaran atau sosialisasi nilai budaya terhadap generasi atau setiap level komunitas akan mempermudah proses internalisasi atau strategi peng-inheren-an nilai budaya ke dalam tatalaku masyarakat. Penginjeksian kembali nilai-nilai lama seperti ini ke dalam kehidupan komunitas tidak serta merta akan memprimordialkan mereka. Tetapi inilah salah satu cara untuk mengimunisasi dan melanggengkan kembali nilai budaya lokal dan tatanan sosial masyarakat. Karena kalau tidak, kita merelakan karya sejarah komunitas lokal akan lenyap dari kehidupan masyarakat. Sehingga yang tersisa nantinya hanyalah identitas turunan sebagai Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Jawa, Minang, Batak, dan sebagainya tetapi kering dari hakikat nilai tradisionalnya. Sebuah identitas etnis yang tidak lagi mengakar dalam nilai kulturalnya. Karena mungkin kita memang telah menjelma menjadi masyarakat hibrit kosmopolit yang salah kaprah. Wallahu-’alam.
Pilkada Damai dan Kampanye Rendahan
Oleh: Hidayah Muhallim
Aktifitas kampanye yang dilakukan para pasangan kandidat gubernur Sulawesi Selatan dan tim suksesnya masing-masing dalam menghadapi pilkada 5 November 2007 ini nampaknya sangat menarik untuk dicermati. Betapa tidak, bukan hanya keterlibatan massa pendukung yang antusias mengikuti orasi para kandidat dan tim kampanyenya, tetapi juga berita atau liputan langsung berbagai media massa, termasuk komentar para pendukung, penentang, pengeritik ataupun para pengamat independen turut menyemarakkan jalannya kampanye pilkada tersebut.
Patut disyukuri bahwa sejauh ini proses kampanye yang telah berlangsung dapat berjalan dengan aman dan damai. Rasanya, belum terlihat adanya ancaman serius yang dapat menjadi indikasi akan kegagalan pilkada damai tersebut. Kita berharap, mudah-mudahan situasi ini dapat tetap bertahan hingga rampungnya proses pilkada.
Meskipun demikian, kita tidak boleh lengah membiarkan propaganda negatif atau manuver-manuver tidak sehat terus berkembang sehingga dapat mencederai demokrasi dan mengurangi kualitas pilkada. Untuk itu, perlu kiranya semua pihak mawas diri dan mengikuti perkembangan kampanye dan proses pilkada secara seksama.
Propaganda dan Materi Kampanye
Sejauh ini, meskipun seluruh tim pasangan kandidat mengaku puas atas jalannya proses kampanye, tetapi beberapa pihak turut memberikan respon yang sedikit berbeda mengenai hal tersebut. Mereka beranggapan bahwa bobot materi kampanye belum begitu terarah dan menyentuh keinginan masyarakat yang sebenarnya. Bahkan melalui berita dan liputan beberapa media massa dengan mudah ditemukan adanya pasangan kandidat yang cenderung lebih mengedepankan propaganda negatif dan arogansi popularitas ketimbang menyajikan tawaran program-program unggulan yang dapat mereka implementasikan nantinya setelah terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Lantas mengapa hal tersebut dapat terjadi? Sulit untuk memastikan. Tetapi kelihatannya telah terjadi kegamangan persepsi terhadap hakikat kampanye itu sendiri. Padahal, kalau kita mau berlaku bijak, kampanye atau propaganda sebagai sebuah proses politik yang mesti dilakukan oleh setiap pasangan kandidat pada dasarnya bertujuan untuk mengenalkan diri dan menawarkan program-program yang meyakinkan agar mendapatkan simpati massa sebagai calon pemilih. Hanya saja, terkadang tim pasangan kandidat kurang pandai mencari materi kampanye yang berkualitas sehingga mereka dengan mudah terjebak dan terpancing untuk menempuh jalan pintas menyerang tim kandidat lain.
Membeberkan kekurangan dan kelemahan tim pasangan kandidat lain memang lebih mudah dan efektif untuk melumpuhkan mereka dihadapan publik ketimbang bersusah payah menawarkan program-program pilihan yang belum tentu dimengerti dan sesuai dengan kebutuhan real masyarakat. Kedengarannya terlalu naïf, tetapi demikianlah adanya.
Sama sekali kita tidak meragukan kapasitas ketiga pasangan kandidat gubernur untuk memimpin provinsi Sulawesi Selatan lima tahun ke depan, tetapi saat ini terbersit sejumlah tanya, mengapa kampanye negatif cenderung dikembangkan. Sulit menemukan jawaban cepat secara tepat mengenai hal tersebut. Mungkin kita perlu penelitian khusus untuk menemukan jawaban akurat. Tetapi berdasarkan pengamatan, informasi, dan tanggapan dari berbagai lapisan masyarakat, paling tidak ada tiga alasan sementara yang mungkin mendasari berkembangnya kampanye negatif tersebut.
Pertama, adanya ketidak-jelasan program-program yang ditawarkan sejumlah pasangan kandidat sehingga mereka cenderung tidak konsisten dalam penyampaian materi kampanye. Akibatnya, sejumlah tim pasangan kandidat cenderung bersikap reaksioner menanggapi program-program yang diajukan oleh tim pasangan kandidat lainnya.
Kedua, tumbuhnya kegusaran internal dari setiap tim pasangan kandidat jika kandidat lain mendapat simpati lebih dari massa calon pemilih. Sehingga untuk mencegahnya, masing-masing tim pasangan kandidat mencari-cari kekurangan dan kelemahan tim lainnya.
Ketiga, adanya dorongan yang kuat untuk menang atau sebaliknya takut untuk kalah sehingga setiap tim pasangan kandidat berupaya semaksimal mungkin dan akan menggunakan berbagai macam cara untuk mencapai tujuan, apapun bentuknya.
Respon Publik
Pada dasarnya kebanyakan orang tidak akan menakar kapasitas kepemimpinan para kandidat melalui pengenalan diri dan klaim semata. Mereka akan cenderung mengingat janji-janji dan program-program yang ditawarkan para kandidat saat kampanye. Itu pula yang menjadi salah satu pegangan untuk menetapkan pilihan mereka. Publik tidak pula terlalu butuh euporia emosional sesaat ketika sang pemenang pilkada terpilih. Mereka akan menilai gubernur dan wakil gubernur terpilih dengan melihat karya, kinerja, prestasi, dan pemenuhan janji. Hal itu pula yang akan menjadi salah satu indikator kesuksesan pasangan kandidat selama memimpin provinsi Sulawesi Selatan periode 2008-2013.
Karena itu publik sungguh mengharapkan munculnya rancangan program-program unggulan dari setiap pasangan kandidat. Bukan sindiran, caci-maki, atau serangan kontra-produktif yang masyarakat tunggu. Jika sang kandidat gubernur adalah pemimpin kapabel, cerdas, dan layak untuk dipilih, semestinya mereka dapat menampilkan bobot dan kualitas kampanye sebagai bukti awal.
Idealnya, pemimpin berbobot tidak perlu terlalu khawatir untuk kalah lalu menyerang pasangan kandidat lain. Terpilih tidaknya sang kandidat gubernur, terserah apa kehendak rakyat. Untuk itu, tampilkan kualitas, rebut simpati, dan menangkan alam pikiran rakyat. Biarkan rakyat menentukan pemimpin sesuai selera mereka. Bukan karena garangnya sindiran, serangan, dan gasakan antar sesama kandidat. Itu politik rendahan namanya.
Rasionalitas politik tidak mesti berpisah jalan dengan moralitas politik. Keduanya bisa menyatu dalam indahnya demokrasi. Rakyat menantikan pemimpin masa depan, tetapi tolong jangan kecewakan mereka. Jangan sampai ada sesal, rakyat salah pilih.
* * * * * * *
Aktifitas kampanye yang dilakukan para pasangan kandidat gubernur Sulawesi Selatan dan tim suksesnya masing-masing dalam menghadapi pilkada 5 November 2007 ini nampaknya sangat menarik untuk dicermati. Betapa tidak, bukan hanya keterlibatan massa pendukung yang antusias mengikuti orasi para kandidat dan tim kampanyenya, tetapi juga berita atau liputan langsung berbagai media massa, termasuk komentar para pendukung, penentang, pengeritik ataupun para pengamat independen turut menyemarakkan jalannya kampanye pilkada tersebut.
Patut disyukuri bahwa sejauh ini proses kampanye yang telah berlangsung dapat berjalan dengan aman dan damai. Rasanya, belum terlihat adanya ancaman serius yang dapat menjadi indikasi akan kegagalan pilkada damai tersebut. Kita berharap, mudah-mudahan situasi ini dapat tetap bertahan hingga rampungnya proses pilkada.
Meskipun demikian, kita tidak boleh lengah membiarkan propaganda negatif atau manuver-manuver tidak sehat terus berkembang sehingga dapat mencederai demokrasi dan mengurangi kualitas pilkada. Untuk itu, perlu kiranya semua pihak mawas diri dan mengikuti perkembangan kampanye dan proses pilkada secara seksama.
Propaganda dan Materi Kampanye
Sejauh ini, meskipun seluruh tim pasangan kandidat mengaku puas atas jalannya proses kampanye, tetapi beberapa pihak turut memberikan respon yang sedikit berbeda mengenai hal tersebut. Mereka beranggapan bahwa bobot materi kampanye belum begitu terarah dan menyentuh keinginan masyarakat yang sebenarnya. Bahkan melalui berita dan liputan beberapa media massa dengan mudah ditemukan adanya pasangan kandidat yang cenderung lebih mengedepankan propaganda negatif dan arogansi popularitas ketimbang menyajikan tawaran program-program unggulan yang dapat mereka implementasikan nantinya setelah terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Lantas mengapa hal tersebut dapat terjadi? Sulit untuk memastikan. Tetapi kelihatannya telah terjadi kegamangan persepsi terhadap hakikat kampanye itu sendiri. Padahal, kalau kita mau berlaku bijak, kampanye atau propaganda sebagai sebuah proses politik yang mesti dilakukan oleh setiap pasangan kandidat pada dasarnya bertujuan untuk mengenalkan diri dan menawarkan program-program yang meyakinkan agar mendapatkan simpati massa sebagai calon pemilih. Hanya saja, terkadang tim pasangan kandidat kurang pandai mencari materi kampanye yang berkualitas sehingga mereka dengan mudah terjebak dan terpancing untuk menempuh jalan pintas menyerang tim kandidat lain.
Membeberkan kekurangan dan kelemahan tim pasangan kandidat lain memang lebih mudah dan efektif untuk melumpuhkan mereka dihadapan publik ketimbang bersusah payah menawarkan program-program pilihan yang belum tentu dimengerti dan sesuai dengan kebutuhan real masyarakat. Kedengarannya terlalu naïf, tetapi demikianlah adanya.
Sama sekali kita tidak meragukan kapasitas ketiga pasangan kandidat gubernur untuk memimpin provinsi Sulawesi Selatan lima tahun ke depan, tetapi saat ini terbersit sejumlah tanya, mengapa kampanye negatif cenderung dikembangkan. Sulit menemukan jawaban cepat secara tepat mengenai hal tersebut. Mungkin kita perlu penelitian khusus untuk menemukan jawaban akurat. Tetapi berdasarkan pengamatan, informasi, dan tanggapan dari berbagai lapisan masyarakat, paling tidak ada tiga alasan sementara yang mungkin mendasari berkembangnya kampanye negatif tersebut.
Pertama, adanya ketidak-jelasan program-program yang ditawarkan sejumlah pasangan kandidat sehingga mereka cenderung tidak konsisten dalam penyampaian materi kampanye. Akibatnya, sejumlah tim pasangan kandidat cenderung bersikap reaksioner menanggapi program-program yang diajukan oleh tim pasangan kandidat lainnya.
Kedua, tumbuhnya kegusaran internal dari setiap tim pasangan kandidat jika kandidat lain mendapat simpati lebih dari massa calon pemilih. Sehingga untuk mencegahnya, masing-masing tim pasangan kandidat mencari-cari kekurangan dan kelemahan tim lainnya.
Ketiga, adanya dorongan yang kuat untuk menang atau sebaliknya takut untuk kalah sehingga setiap tim pasangan kandidat berupaya semaksimal mungkin dan akan menggunakan berbagai macam cara untuk mencapai tujuan, apapun bentuknya.
Respon Publik
Pada dasarnya kebanyakan orang tidak akan menakar kapasitas kepemimpinan para kandidat melalui pengenalan diri dan klaim semata. Mereka akan cenderung mengingat janji-janji dan program-program yang ditawarkan para kandidat saat kampanye. Itu pula yang menjadi salah satu pegangan untuk menetapkan pilihan mereka. Publik tidak pula terlalu butuh euporia emosional sesaat ketika sang pemenang pilkada terpilih. Mereka akan menilai gubernur dan wakil gubernur terpilih dengan melihat karya, kinerja, prestasi, dan pemenuhan janji. Hal itu pula yang akan menjadi salah satu indikator kesuksesan pasangan kandidat selama memimpin provinsi Sulawesi Selatan periode 2008-2013.
Karena itu publik sungguh mengharapkan munculnya rancangan program-program unggulan dari setiap pasangan kandidat. Bukan sindiran, caci-maki, atau serangan kontra-produktif yang masyarakat tunggu. Jika sang kandidat gubernur adalah pemimpin kapabel, cerdas, dan layak untuk dipilih, semestinya mereka dapat menampilkan bobot dan kualitas kampanye sebagai bukti awal.
Idealnya, pemimpin berbobot tidak perlu terlalu khawatir untuk kalah lalu menyerang pasangan kandidat lain. Terpilih tidaknya sang kandidat gubernur, terserah apa kehendak rakyat. Untuk itu, tampilkan kualitas, rebut simpati, dan menangkan alam pikiran rakyat. Biarkan rakyat menentukan pemimpin sesuai selera mereka. Bukan karena garangnya sindiran, serangan, dan gasakan antar sesama kandidat. Itu politik rendahan namanya.
Rasionalitas politik tidak mesti berpisah jalan dengan moralitas politik. Keduanya bisa menyatu dalam indahnya demokrasi. Rakyat menantikan pemimpin masa depan, tetapi tolong jangan kecewakan mereka. Jangan sampai ada sesal, rakyat salah pilih.
* * * * * * *
Menelaah Implementasi Corporate Social Responsibility
Oleh: Hidayah Muhallim
Sejak era reformasi, tuntutan terhadap korporasi atau lembaga bisnis untuk turut terlibat aktif dalam pembangunan masyarakat mulai berhembus dengan sangat kencang. Korporasi dituntut untuk tidak lagi semata-mata berpijak pada basis tradisionalnya yang hanya berupaya mengejar keuntungan sebesar-besarnya bagi para shareholdernya, tetapi juga mesti mempertimbangkan kepentingan para stakeholdernya. Disamping itu, korporasi dituntut untuk memikirkan dan memberikan solusi terhadap berbagai masalah sosial-kemasyarakatan dan lingkungan hidup yang mungkin—baik langsung maupun tidak langsung—diakibatkannya, serta ikut mempromosikan peningkatan kualitas sumber daya komunitas dan kemandirian lokal. Ringkasnya, korporasi semestinya dapat memberikan kontribusi konkrit paling tidak terhadap local community development dimana korporasi tersebut beroperasi.
Sebenarnya, kalau kita menelusuri lebih jauh debat tentang bagaimana social performance korporasi, maka hal tersebut telah mengemuka sekitar tiga atau empat dekade yang lalu di negara-negara Amerika Utara dan Eropa Barat. Perdebatan tentang apakah korporasi hanya semata-mata berusaha untuk memenuhi tujuan-tujuan tradisionalnya yaitu mencari profit sebesar-besarnya bagi para shareholdernya, atau korporasi juga semestinya memiliki tanggung jawab sosial sekaligus terhadap para stakehordernya. Namun perkembangan selanjutnya, nampaknya korporasi saat ini diharapkan dan didorong untuk memiliki social concern yang melampaui basis tradisionalnya tersebut. Dalam konteks ini ditegaskan bahwa paradigma lama ekonomi mesti segera ditinggalkan dan tidak dapat lagi dipertahankan. Karena itu, peran baru korporasi dipandang lebih progressive dan up to date dengan munculnya doktrin CSR (corporate social responsibility) tersebut.
Lantas mengapa CSR tersebut baru mengemuka di Indonesia pasca tumbangnya Presiden Suharto? Apakah konsep tersebut memang tidak dikenal luas oleh para akademisi, pemikir, atau aktifis gerakan sosial di negeri ini sebelumnya?
Menurut hemat penulis, tidaklah demikian adanya. Hanya saja fakta empirik yang dapat kita temukan bahwa selama rejim Orde Baru berkuasa, berbagai opini atau pemikiran baru yang muncul dalam masyarakat tidak selalu mendapat ruang untuk tumbuh dan berkembang, termasuk adanya desakan atau tuntutan masyarakat terhadap peran dan tanggung jawab sosial korporasi. Rejim Orde Baru begitu powerful menguasai dan mengatur berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ironisnya, terhadap korporasi-korporasi asing, pemerintah Orde Baru berlaku sangat lembek dan kurang bernyali. Bahkan pemerintah telah menyediakan layanan sangat istimewa untuk mengamankan dan memuluskan segala agenda atau proyek korporasi asing (TNCs, Trans-National Corporations) yang bukan hanya dipandang kurang peduli terhadap persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan dan lingkungan hidup selama ini, tetapi juga begitu abai, kurang bertanggungjawab, dan bahkan cenderung melampaui batas.
Korporasi-korporasi asing tersebut barulah mulai sedikit merubah pola tindak mereka setelah kekuatan Orde Baru kocar-kacir. Ditambah lagi dengan munculnya desakan yang begitu kuat dan intensif dari berbagai elemen-elemen kekuatan masyarakat madani (civil society) terutama sejak era reformasi. Jadi bukanlah betul-betul sepenuhnya murni dan tiba-tiba muncul dari apa yang disebut dengan ”keinginan baik” korporasi sebagai bukti komitmen moral dan sosial seperti yang mereka klaim selama ini.
Perubahan Sikap Korporasi
Dalam konteks global, perubahan sikap korporasi didorong oleh munculnya berbagai kritik dari para pemikir, aktifis dan praktisi sosial terhadap praktek bisnis yang dianggap begitu menjemukan dan telah menimbulkan berbagai persoalan. Praktek bisnis model lama dianggap kurang relevan lagi dengan realitas sosial kekinian, karena itu segera harus ditinggalkan. Untuk itulah, sebuah rasionalitas baru ekonomi atau new strategic management sangat diperlukan adanya demi kelangsungan eksistensi korporasi dalam trend globalisasi sekarang ini. Dengan kata lain, kiat-kiat korporasi mesti terus-menerus dirasionalisasikan dan diperbarui setiap saat jika ingin tetap eksis dan tumbuh berkembang.
Sementara dalam konteks ke-Indonesia-an, temuan lapangan atau data empirik yang diperoleh penulis memperlihatkan bahwa secara institusional, perubahan social policies dan strategic management korporasi secara umum ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal ketimbang faktor-faktor internal korporasi yang secara eksplisit dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama, adanya perubahan struktur politik di Indonesia sejak era reformasi yang lebih mengarah pada otonomi daerah sebagaimana ditegaskan oleh UU Nomor 22/1999 tentang pelaksanaan otonomi daerah, kemudian dijabarkan dalam peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000.
Kedua, adanya gerakan-gerakan sosial baik ditingkat nasional maupun ditingkat regional yang turut pula memicu komunitas lokal untuk melakukan tekanan-tekanan langsung terhadap korporasi, mempertanyakan kembali keberadaannya dan sekaligus menuntut peran-peran sosialnya, seperti yang dapat kita saksikan sepanjang dekade terakhir di beberapa lokasi pertambangan atau industri besar di Indonesia.
Ketiga, adanya perubahan strategic management yang dilakukan oleh korporasi atau faktor-faktor internal lainnya, termasuk kiat-kiat managemen terkini untuk kembali memperhitungkan kepentingan-kepentingan para stakeholdernya, atau lebih sederhananya disebut sebagai internal drive dari sebuah korporasi.
Dari ketiga faktor tersebut diatas, sangat jelas terlihat bahwa faktor-faktor eksternal korporasi seperti pada point pertama dan kedua ternyata jauh lebih berpengaruh mendorong dan memaksa perubahan sikap korporasi dibandingkan faktor internal atau internal drive seperti pada point ketiga. Meskipun terdapat klaim dari berbagai korporasi bahwa perubahan sikap mereka, yang mulai peduli terhadap berbagai persoalan sosial kemasyarakatan, merupakan wujud moral commitment dan social responsibility korporasi terhadap local community development sekaligus bukti dukungan terhadap sustainable development di Indonesia sejak awal. Namun klaim tersebut dapat direspon secara sederhana, mengapa konsep dan praktek CSR tersebut tidak diterapkan jauh-jauh hari sebelum kekuatan Orde Baru berantakan, atau sebelum gerakan reformasi datang menggebrak. Sebagaimana yang terlihat bahwa pasca tumbangnya rejim Orde Baru, tuntutan dan desakan masyarakat semakin kuat dan intensif mendobrak membuat korporasi ketar-ketir dan segera berbenah mencari simpati dan legitimasi baru untuk dapat tetap bertahan.
Menakar CSR
Sesungguhnya, tujuan klasik korporasi adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan atau biaya sekecil-kecilnya. Kalaupun CSR kemudian muncul sebagai sebuah alternative, para neo-liberalist tetap menempatkannya hanya sebagai sebuah strategic management terkini dan mempreskripsikan CSR sebagai doktrin yang mesti diadopsi dan diterapkan oleh korporasi jika ingin mendapatkan kembali legitimasinya yang sangat merosot beberapa dekade terakhir, sekaligus untuk dapat menghindari dan menangkis kritikan serta gempuran gerakan massa yang terus muncul di mana-mana tanpa henti menantang korporasi dunia. Karena itu pula sejumlah sosiolog atau para pemikir sosial tetap berkeyakinan bahwa doktrin CSR tersebut hanya merupakan suatu kamuflase atau trik baru kaum neo-liberalist dalam trend globalisasi agar dapat terus melanggengkan sistem kapitalisme dunia. Toh kalau paradigma CSR tersebut kelihatan sedikit lebih baik, paling banter kita baru dapat menimbangnya tak lebih dari sekedar solusi tawar sementara. Tidak sebagai sebuah solusi final yang dapat menjawab berbagai persoalan sosial-ekonomi yang timbul belakangan ini. Konsep CSR bukan pula merupakan bentuk final dari praktek win-win solution seperti yang dicita-citakan.
Namun demikian, implementasi CSR dapat diposisikan paling tidak sebagai suatu tahapan awal bagi dunia bisnis untuk menjadi socially concern yang peduli terhadap berbagai persoalan sosial kemasyarakatan dan lingkungan hidup sekaligus sebagai bentuk kontribusi konkrit sementara terhadap pembangunan berkelanjutan, sambil kita terus berupaya menemukan sebuah model yang lebih baik, lebih progresive, dan lebih acceptable kedepan.
Sejak era reformasi, tuntutan terhadap korporasi atau lembaga bisnis untuk turut terlibat aktif dalam pembangunan masyarakat mulai berhembus dengan sangat kencang. Korporasi dituntut untuk tidak lagi semata-mata berpijak pada basis tradisionalnya yang hanya berupaya mengejar keuntungan sebesar-besarnya bagi para shareholdernya, tetapi juga mesti mempertimbangkan kepentingan para stakeholdernya. Disamping itu, korporasi dituntut untuk memikirkan dan memberikan solusi terhadap berbagai masalah sosial-kemasyarakatan dan lingkungan hidup yang mungkin—baik langsung maupun tidak langsung—diakibatkannya, serta ikut mempromosikan peningkatan kualitas sumber daya komunitas dan kemandirian lokal. Ringkasnya, korporasi semestinya dapat memberikan kontribusi konkrit paling tidak terhadap local community development dimana korporasi tersebut beroperasi.
Sebenarnya, kalau kita menelusuri lebih jauh debat tentang bagaimana social performance korporasi, maka hal tersebut telah mengemuka sekitar tiga atau empat dekade yang lalu di negara-negara Amerika Utara dan Eropa Barat. Perdebatan tentang apakah korporasi hanya semata-mata berusaha untuk memenuhi tujuan-tujuan tradisionalnya yaitu mencari profit sebesar-besarnya bagi para shareholdernya, atau korporasi juga semestinya memiliki tanggung jawab sosial sekaligus terhadap para stakehordernya. Namun perkembangan selanjutnya, nampaknya korporasi saat ini diharapkan dan didorong untuk memiliki social concern yang melampaui basis tradisionalnya tersebut. Dalam konteks ini ditegaskan bahwa paradigma lama ekonomi mesti segera ditinggalkan dan tidak dapat lagi dipertahankan. Karena itu, peran baru korporasi dipandang lebih progressive dan up to date dengan munculnya doktrin CSR (corporate social responsibility) tersebut.
Lantas mengapa CSR tersebut baru mengemuka di Indonesia pasca tumbangnya Presiden Suharto? Apakah konsep tersebut memang tidak dikenal luas oleh para akademisi, pemikir, atau aktifis gerakan sosial di negeri ini sebelumnya?
Menurut hemat penulis, tidaklah demikian adanya. Hanya saja fakta empirik yang dapat kita temukan bahwa selama rejim Orde Baru berkuasa, berbagai opini atau pemikiran baru yang muncul dalam masyarakat tidak selalu mendapat ruang untuk tumbuh dan berkembang, termasuk adanya desakan atau tuntutan masyarakat terhadap peran dan tanggung jawab sosial korporasi. Rejim Orde Baru begitu powerful menguasai dan mengatur berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ironisnya, terhadap korporasi-korporasi asing, pemerintah Orde Baru berlaku sangat lembek dan kurang bernyali. Bahkan pemerintah telah menyediakan layanan sangat istimewa untuk mengamankan dan memuluskan segala agenda atau proyek korporasi asing (TNCs, Trans-National Corporations) yang bukan hanya dipandang kurang peduli terhadap persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan dan lingkungan hidup selama ini, tetapi juga begitu abai, kurang bertanggungjawab, dan bahkan cenderung melampaui batas.
Korporasi-korporasi asing tersebut barulah mulai sedikit merubah pola tindak mereka setelah kekuatan Orde Baru kocar-kacir. Ditambah lagi dengan munculnya desakan yang begitu kuat dan intensif dari berbagai elemen-elemen kekuatan masyarakat madani (civil society) terutama sejak era reformasi. Jadi bukanlah betul-betul sepenuhnya murni dan tiba-tiba muncul dari apa yang disebut dengan ”keinginan baik” korporasi sebagai bukti komitmen moral dan sosial seperti yang mereka klaim selama ini.
Perubahan Sikap Korporasi
Dalam konteks global, perubahan sikap korporasi didorong oleh munculnya berbagai kritik dari para pemikir, aktifis dan praktisi sosial terhadap praktek bisnis yang dianggap begitu menjemukan dan telah menimbulkan berbagai persoalan. Praktek bisnis model lama dianggap kurang relevan lagi dengan realitas sosial kekinian, karena itu segera harus ditinggalkan. Untuk itulah, sebuah rasionalitas baru ekonomi atau new strategic management sangat diperlukan adanya demi kelangsungan eksistensi korporasi dalam trend globalisasi sekarang ini. Dengan kata lain, kiat-kiat korporasi mesti terus-menerus dirasionalisasikan dan diperbarui setiap saat jika ingin tetap eksis dan tumbuh berkembang.
Sementara dalam konteks ke-Indonesia-an, temuan lapangan atau data empirik yang diperoleh penulis memperlihatkan bahwa secara institusional, perubahan social policies dan strategic management korporasi secara umum ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal ketimbang faktor-faktor internal korporasi yang secara eksplisit dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama, adanya perubahan struktur politik di Indonesia sejak era reformasi yang lebih mengarah pada otonomi daerah sebagaimana ditegaskan oleh UU Nomor 22/1999 tentang pelaksanaan otonomi daerah, kemudian dijabarkan dalam peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000.
Kedua, adanya gerakan-gerakan sosial baik ditingkat nasional maupun ditingkat regional yang turut pula memicu komunitas lokal untuk melakukan tekanan-tekanan langsung terhadap korporasi, mempertanyakan kembali keberadaannya dan sekaligus menuntut peran-peran sosialnya, seperti yang dapat kita saksikan sepanjang dekade terakhir di beberapa lokasi pertambangan atau industri besar di Indonesia.
Ketiga, adanya perubahan strategic management yang dilakukan oleh korporasi atau faktor-faktor internal lainnya, termasuk kiat-kiat managemen terkini untuk kembali memperhitungkan kepentingan-kepentingan para stakeholdernya, atau lebih sederhananya disebut sebagai internal drive dari sebuah korporasi.
Dari ketiga faktor tersebut diatas, sangat jelas terlihat bahwa faktor-faktor eksternal korporasi seperti pada point pertama dan kedua ternyata jauh lebih berpengaruh mendorong dan memaksa perubahan sikap korporasi dibandingkan faktor internal atau internal drive seperti pada point ketiga. Meskipun terdapat klaim dari berbagai korporasi bahwa perubahan sikap mereka, yang mulai peduli terhadap berbagai persoalan sosial kemasyarakatan, merupakan wujud moral commitment dan social responsibility korporasi terhadap local community development sekaligus bukti dukungan terhadap sustainable development di Indonesia sejak awal. Namun klaim tersebut dapat direspon secara sederhana, mengapa konsep dan praktek CSR tersebut tidak diterapkan jauh-jauh hari sebelum kekuatan Orde Baru berantakan, atau sebelum gerakan reformasi datang menggebrak. Sebagaimana yang terlihat bahwa pasca tumbangnya rejim Orde Baru, tuntutan dan desakan masyarakat semakin kuat dan intensif mendobrak membuat korporasi ketar-ketir dan segera berbenah mencari simpati dan legitimasi baru untuk dapat tetap bertahan.
Menakar CSR
Sesungguhnya, tujuan klasik korporasi adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan atau biaya sekecil-kecilnya. Kalaupun CSR kemudian muncul sebagai sebuah alternative, para neo-liberalist tetap menempatkannya hanya sebagai sebuah strategic management terkini dan mempreskripsikan CSR sebagai doktrin yang mesti diadopsi dan diterapkan oleh korporasi jika ingin mendapatkan kembali legitimasinya yang sangat merosot beberapa dekade terakhir, sekaligus untuk dapat menghindari dan menangkis kritikan serta gempuran gerakan massa yang terus muncul di mana-mana tanpa henti menantang korporasi dunia. Karena itu pula sejumlah sosiolog atau para pemikir sosial tetap berkeyakinan bahwa doktrin CSR tersebut hanya merupakan suatu kamuflase atau trik baru kaum neo-liberalist dalam trend globalisasi agar dapat terus melanggengkan sistem kapitalisme dunia. Toh kalau paradigma CSR tersebut kelihatan sedikit lebih baik, paling banter kita baru dapat menimbangnya tak lebih dari sekedar solusi tawar sementara. Tidak sebagai sebuah solusi final yang dapat menjawab berbagai persoalan sosial-ekonomi yang timbul belakangan ini. Konsep CSR bukan pula merupakan bentuk final dari praktek win-win solution seperti yang dicita-citakan.
Namun demikian, implementasi CSR dapat diposisikan paling tidak sebagai suatu tahapan awal bagi dunia bisnis untuk menjadi socially concern yang peduli terhadap berbagai persoalan sosial kemasyarakatan dan lingkungan hidup sekaligus sebagai bentuk kontribusi konkrit sementara terhadap pembangunan berkelanjutan, sambil kita terus berupaya menemukan sebuah model yang lebih baik, lebih progresive, dan lebih acceptable kedepan.
Permainan Politik dan Pemimpin Pemerintahan Yang Dinantikan
Oleh: Hidayah Muhallim
Tidak lama lagi Pilkada Sul-Sel akan dilaksanakan, yaitu tepatnya pada 5 November 2007. Tujuan utama pilkada tersebut apalagi kalau bukan untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk itu, hal yang perlu menjadi perhatian kita adalah bagaimana para kandidat gubernur dan tim suksesnya masing-masing menghadapi pertarungan politik pilkada dan bagaimana sikap publik sebagai calon pemilih terutama terhadap pasangan kandidat gubernur dan situasi politik kekinian.
Secara kasat mata, ketiga pasang kandidat gubernur dan seluruh tim suksesnya telah sibuk melakukan sejumlah persiapan dan kampanye seperti memasang gambar-gambar dan slogan, menebar janji dan pesona, menawarkan program-program unggulan, serta berbagai bentuk propaganda politik yang dianggap jitu sebagai taktik dan strategi permainan. Tetapi apapun bentuk aktifitas dan tindakan tersebut, keseluruhannya memiliki muatan dan motif politik yang bertujuan untuk memenangkan pertarungan dalam pilkada.
Tulisan ini tidak ingin berspekulasi terlalu jauh, apalagi untuk memprediksi siapa bakal memenangkan pilkada tersebut. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita dapat mencermati realitas politik dan menetapkan pilihan yang tepat.
Rasionalitas Politik
Bagi banyak pihak, politik adalah seni untuk memungkinkan tercapainya keinginan atau kepentingan. Ya bisa karena kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, kelompok, partai, kekuasaan, status quo atau kepentingan lainnya. Karena itu, wajar saja jika setiap pasangan kandidat dan tim suksesnya masing-masing berupaya keras dan akan melakukan apa saja untuk meraih kemenangan. Demikian rasionalitas politik yang di pahami secara umum.
Seperti yang dapat kita saksikan, rasionalitas politik pada tataran empiris ditafsirkan secara sederhana oleh para kandidat dan tim sukses paling tidak dalam tiga bentuk tindakan. Pertama, perkenalan diri terhadap publik. Ada plesetan pepatah politik mengatakan, ”tak kenal maka tak pilih”. Dalam konteks itulah kampanye perkenalan diri dimaksudkan untuk menarik minat pemilih bahwa sayalah ”sang kandidat” yang terbaik, ideal dan paling pantas untuk dipilih. Untuk itu, segala latar belakang dan kompetensi sang kandidat akan diungkapkan secara all-out untuk ”menjual diri” meraih popularitas.
Kedua, setiap kandidat dan tim suksesnya menawarkan program unggulan. Demi menjaga keberlangsungan pembangunan atau demi perubahan dan peningkatan kesejahteraan bersama, maka pilihlah ”saya”. Pokoknya, apa yang terbaik bagi masyarakat dan kemajuan daerah Sulawesi Selatan, terbaik bagi kandidat. Demikian klaim dan janji yang sering kita dapati.
Ketiga, pertontonan kekuatan dan pengaruh. Selain ”jual diri dan menjanji”, arena pilkada juga menjadi ajang pertarungan yang dianggap menarik ketika terjadi adu pengaruh dan kekuatan. Instrumennya ya bisa uang, otoritas jabatan, kata-kata, kelompok, partai, klaim massa, dan sebagainya. Makanya tidak mengherankan jika terjadi serang-menyerang antar sesama lawan-tanding. Kelemahan atau keburukan lawan-tanding diungkap. Pantas atau tidak bukan persoalan, yang penting bagaimana memukul lawan sekeras-kerasnya untuk memenangkan pertarungan. Politik bukan sekedar adu kebajikan, tetapi juga adu kegarangan. Etika dan moral politik hanyalah kitab referensi bagi pembelajar politik, bukan bagi pelaku politik. Karena itu, rasionalitas politik akan bekerja menyingkirkan segala penghalang untuk mempermulus jalan menuju kemenangan. Satu-satunya rasionalitas politik bagi pelaku adalah bagaimana memenangkan pertarungan, apapun caranya.
Keterwakilan rasional atau keterwakilan emosional
Selain rasionalitas politik, pencermatan atas kecenderungan arus massa calon pemilih mendapat perhatian serius dari setiap tim sukses pasangan kandidat. Berdasarkan pengamatan, kecenderungan massa calon pemilih secara sederhana dipetakan dalam dua kelompok besar yaitu massa emosional-tradisional dan rasional-objektif. Pasalnya, semua tim sukses telah membaca peta kecenderungan massa, bahkan secara sadar telah memainkan situasi tersebut. Anehnya, publik atau massa pendukung bukan tidak menyadari pola permainan politik yang dikembangkan ini. Bahkan mereka ”enjoy” dengan pola permainan tersebut.
Meskipun terdapat massa pemilih rasional-objektif, tetapi kuantifikasi massa calon pemilih emosional-tradisional masih lebih besar. Mereka akan memilih pemimpin karena merasa terwakili baik secara emosional maupun secara tradisional tanpa mesti menghadirkan pertimbangan rasionalnya. Sementara massa calon pemilih yang rasional cenderung memilih pemimpin karena keterwakilan yang disandarkan pada pertimbangan objektif yang tidak terkekang oleh ikatan tradisional atau sikap emosional belaka.
Meskipun kuantifikasi antar massa calon pemilih emosional-tradisional dan rasional-objektif sulit dilakukan secara pasti, tetapi pemetaan kecenderungan massa pemilih akan sangat membantu setiap pasang kandidat dan tim suksesnya untuk meraih suara mayoritas, jika ingin menang.
Kita yakin bahwa seluruh pasangan kandidat dan tim suksesnya telah dapat membaca kecenderungan massa calon pemilih tradisional yang mendasarkan pilihannya atas pertimbangan emosionalnya. Kita pun tahu bahwa idealnya seorang calon pemilih semestinya mendasarkan pilihannya atas pertimbangan rasional-objektifnya masing-masing. Karena itu kita sangat berharap agar setiap tim sukses tidak hanya sanggup menggunakan rasionalitas politiknya semata, tetapi juga mampu menghadirkan moralitas dalam meraih kemenangan politik. Sangat disayangkan jika mereka hanya dapat memilih jalan pintas dengan membangkitkan emosi-tradisional para pemilihnya belaka.
Memang sebagai penonton, kita sulit menampik adanya permainan politik jalan pintas yang mengeksploitasi emosi massa pemilih tradisional. Tetapi alangkah eloknya jika setiap pasangan kandidat dan tim suksesnya mampu menggunakan rasionalitas dan moralitas politik sekaligus. Kita rindu pemimpin yang mampu memenangkan alam pikiran rasional sekaligus emosi rakyat.
Tanggung jawab pemilih
Menentukan pilihan bukanlah persoalan remeh, karena pemilihlah yang akan menentukan siapa yang pantas memimpin provinsi Sulawesi Selatan lima tahun ke depan. Bukan sebaliknya, pasangan kandidat yang akan mengarahkan kita untuk memilih mereka. Jangan sampai amanah jatuh kepada orang yang kurang tepat hanya karena salah pilih kita. Pilihan kita akan menentukan siapa yang akan memikul tanggung-jawab pembangunan, perubahan, kemajuan, dan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Selatan ke depan.
Sering kali terjadi penyesalan kemudian, kita salah pilih lagi. Untuk itu, sudahilah perilaku bangsa kita yang korup dengan tidak memilih pemimpin pemerintahan yang kurang becus. Kita butuh ketentraman, ketertiban dan pelayanan publik yang standar. Pengangguran butuh lapangan kerja. Kita butuh peningkatan kesejahteraan bersama terutama bagi kaum miskin. Sebagai pemilih independen, kita tidak perlu kemenangan partai tertentu atau kemenangan emosional sesaat.
Pilkada hanyalah momentum untuk memilih pemimpin politik pemerintahan yang kapabel, inspirational, berkarakter, dan memiliki komitmen yang yang tinggi terhadap perubahan, keberlangsungan pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Kita berharap tim pasangan kandidat gubernur yang terpilih adalah mereka yang tidak hanya dapat mempertontonkan kemampuan individunya semata terhadap publik, tetapi pemimpin yang sanggup menunaikan janji, menunjukkan karya dan kinerjanya kepada masyarakat setelah terpilih. Semoga.
* * * * * * *
Langganan:
Postingan (Atom)